Sharief Rachmat, Ketua DPLN PDI Perjuangan Saudi Arabia |
Jeddah - WNI di luar Negeri atau Pekerja Migran
Indonesia khususnya yang berstatus overstayer atau undocument terancam
kehilangan hak memilih dalam Pemilu 2019. Hal ini dikarenakan selain namanya
belum masuk daftar pemilih, sekaligus tidak dapat mendaftar sebagai pemilih
karena terbentur dengan peraturan dan perundang undangan Pemilu.
Berdasarkan Pasal 13 ayat 4 poin (a) dalam Peraturan
Komisi Pemilihan Umum RI Nomor 12 tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih
di Luar Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilu yang berbunyi PPLN dibantu oleh
Pantarlih LN meminta Pemilih menunjukkan Paspor atau KTP-el atau SPLP yang masih
berlaku atau dokumen lain yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan merupakan
Warga Negara Indonesia.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI Nomor 12 tahun 2018
yang menjadi rujukan Panitia Pemilu Luar Negeri, yang hingga saat ini belum
dapat mengakomodir WNI Overstayer yang dokumen identitasnya habis masa
berlakunya serta yang tidak memiliki dokumen.
Menanggapi hal tersebut, Sharief Rachmat yang
merupakan Ketua DPLN PDI Perjuangan Saudi Arabia meminta kepada KPU RI untuk
menerbitkan peraturan khusus agar WNI di luar negeri dapat menggunakan hak
suaranya tanpa diskriminatif baik itu yang berstatus legal maupun overstayer.
Jumlah WNI di luar negeri atau Pekerja Migran Indonesia yang berstatus
overstayer tak kalah banyak dengan yang berstatus legal.
Yang namanya berstatus overstayer, tentu dokumen
identitasnya sudah habis masa berlaku dan bisa jadi tidak memilik dokumen.
Apalagi sampai mewajibkan harus memiliki e-ktp, dan ini sangat mustahil dan
tidak masuk akal. Kalaupun ada SPLP, itupun sudah habis masa berlakunya dan
sangat tidak mungkin untuk diperbaharui," ujar Sharief pada Minggu (15/07/2018) di kota Jeddah.
Bila menelaah pasal 13 ayat 4 poin (a) dalam PKPU
nomor 12 tahun 2018, juga disebutkan “dokumen lain yang menunjukkan bahwa yang
bersangkutan merupakan WNI”. Hal itu
juga bisa diasumsikan pula dokumen apapun baik itu masih berlaku atau sebaliknya
bisa dijadikan syarat,” sambungnya
Merujuk pada Pemilu 2014 di Saudi Arabia, partisipasi
pemilih itu lebih dominan yang berstatus overstayer serta yang tidak terdaftar
dalam DPTLN atau dalam artian baru mendaftar saat pemungutan suara.
Karena mengetahui sikon dilapangan, KPU RI saat itu
pada Pemilu 2014 menerbitkan kebijakan untuk memudahkan WNI atau PMI tanpa
terkecuali dan tanpa diskriminatif. Seperti selama WNI tersebut dapat
menunjukkan sebagai WNI atau paling tidak dapat menyanyikan Lagu Indonesia
Raya, mereka sudah dapat menggunakan hak suaranya. Selain itu, tidak ada
diskriminatif waktu penggunakan hak suara yang sudah terdaftar dalam DPT maupun
yang baru daftar saat pemungutan suara,” lanjutnya.
“Jangan bermimpi berlebihan bila KPU RI ingin
partisipasi pemilih di luar negeri dalam Pemilu 2019 meningkat, bila masih
mempertahankan peraturan tersebut. Semua perwakilan Partai Politik maupun
Komunitas WNI di Saudi Arabia sudah menyampaikan hal tersebut ke PPLN (Panitia
Pemilu Luar Negeri) di Saudi Arabia, tetapi hingga saat ini belum ada titik
terang dari KPU RI,” ungkap Sharief Rachmat.
Kekhawatiran KPU RI
perihal potensi kecurangan Pemilu di luar negeri seperti dua kali memilih hal
yang patut diperhatikan bersama. Hanya saja Sharief menambahkan, potensi
kecurangan tersebut berada dalam pemungutan suara KSK (Kotak Suara Keliling)
atau pada Pemilu 2014 disebut Dropbox,” tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar